Wednesday 3 December 2014

jangka waktu restitusi pajak

Jangka Waktu Restitusi Pajak
Restitusi pajak adalah pengembalian pajak (refund). Dilihat dari sisi pemeriksaan, pengembalian pajak ada yang dimohonkan kepada DJP dan tidak dimohonkan. Pengembalian pajak yang dimohonkan diatur di Pasal 17B UU KUP, sehingga kadang disebut pemeriksaan Pasal 17B. Sedangkan kelebihan pajak yang tidak dimohonkan mengacu ke Pasal 17 ayat (1) UU KUP.

Kenapa harus dibedakan? Karena jatuh tempo pengembalian pengembalian diatas berbeda. Pasal 17B mengatur bahwa Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus menerbitkan surat ketetapan pajak paling lama 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap. Ini kadang disebut jatuh tempo restitusi. Jangka waktu 12 bulan ini saya sebut saja jangka waktu restitusi. Jangka waktu ini berbeda dengan jangka waktu pemeriksaan. Tetapi berlaku prinsip mana yang lebih dulu!
a. berlaku jangka waktu pemeriksaan jika jangka waktu restitusi pajak lebih lama
b. berlaku jangka waktu restitusi pajak jika jangka waktu restitusi lebih dulu.

Contoh jangka waktu restitusi lebih dulu:
 
SPT LB dengan permohonan restitusi diterima DJP tanggal 4 Juni 2012. Berdasarkan peraturan Pasal 17B UU KUP, DJP harus menerbitkan surat ketetapan pajak paling lama 3 Juni 2013. Jika pemeriksaan pajak baru dimulai 7 Januari 2013 maka pemeriksa harus mengatur waktu sebelum 3 Juni 2013. Artinya harus ada 2 bulan jangka waktu pembahasan. Awal April 2013 pemeriksa pajak harus menerbitkan SPHP karena pemeriksa harus mengalokasikan jangka waktu pembahasan 2 bulan. Padahal dari 7 Januari 2013 sampai akhir Maret 2013 jangka waktu pemeriksaan baru 3 bulan saja. Kecuali jika pemeriksa yakin bahwa pembahasan (closing conference) hanya dilakukan satu atau dua hari dan Wajib Pajak setuju! Pada kasus ini, jangka waktu pembahasan tidak berlaku.

Sedangkan pengembalian pajak yang tidak dimohonkan tidak ada jangka waktu restitusi 12 bulan. Jatuh tempo DJP harus menerbitkan surat ketetapan pajak adalah sebelum daluwarsa penetapan, alias 5 (lima) tahun. Pengembalian pajak ini mengacu ke Pasal 17 ayat (1) UU KUP. Contoh yang seperti ini adalah lebih bayar PPN tetapi dikompensasi ke masa pajak berikutnya, atau kelebihan PPh Badan dengan mencontreng "diperhitungkan dengan utang pajak" di Formulir 1771, atau lebih bayar PPh karena edit penelitian SPT di KPP (Wajib Pajak salah hitung).



Pertemuan dengan Wajib Pajak
Pemeriksa pajak wajib bertemu dengan Wajib Pajak yang diperiksa, baik untuk pemeriksaa lapangan maupun pemeriksaan kantor. Ada perbedaan antara pemeriksaan lapangan dengan pemeriksaan kantor, yaitu jika pemeriksaan lapangan maka pemeriksa pajak wajib datang ke tempat Wajib Pajak (aktif) dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan. Sedangkan pemeriksaan kantor, Wajib Pajak diundang ke kantor pajak dengan mengirim Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor.

Pada saat pertama kali bertemu dengan Wajib Pajak, pemeriksa pajak wajib memberikan penjelasan mengenai:
[a.] alasan dan tujuan Pemeriksaan;
[b.] hak dan kewajiban Wajib Pajak selama dan setelah pelaksanaan Pemeriksaan;
[c.] hak Wajib Pajak mengajukan permohonan untuk dilakukan pembahasan dengan TimQuality Assurance
 Pemeriksaan dalam hal terdapat hasil Pemeriksaan yang belum disepakati antara Pemeriksa Pajak dengan Wajib Pajak pada saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan; dan
[d.] kewajiban dari Wajib Pajak untuk memenuhi permintaan buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lainnya, yang dipinjam dari Wajib Pajak.
Kemudian penjelasan terkait 4 hal diatas wajib dibuatkan
 berita acara pertemuan dengan Wajib Pajak.


Peminjaman Dokumen dan Penyegelan
Pemeriksa pajak memiliki kewenangan untuk melakukan penyegelan.  Kewenangan penyegelan ini berdasarkan Pasal 30 UU KUP. Apa objek penyegelan dalam pemeriksaan pajak? Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 benda yang disegel adalah buku, catatan, dan/atau dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik,
 dan benda-benda lain yang dapat memberi petunjuk tentang kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak. Artinya semua bendayang menurut pemeriksa pajak akan memberikan petunjuk tentang kegiatan usaha Wajib Pajak.

Penyegelan dilakukan manakala:
[a.] Wajib Pajak tidak memberi kesempatan kepada Pemeriksa Pajak untuk memasuki tempat atau ruang serta memeriksa barang yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan buku atau catatan, dan/atau dokumen, termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik;
[b.] Wajib Pajak menolak memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan;
[c.] Wajib Pajak tidak berada di tempat
 

Penyegelan hanya ada dalam pemeriksaan lapangan. Sehingga jika pemeriksa pajak datang ke tempat Wajib Pajak dengan membawa
 Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan maka hal yang pertama kali dilakukan adalah memberikan penjelasan mengenai 4 hal diatas kemudian membuat berita acara. Selanjutnya, pemeriksa pajak memeriksa tempat Wajib Pajak (tanpa pengecualian). Jika menolak, maka pemeriksa pajak berwenang untuk melakukan penyegelan. Setelah melakukan pemeriksaan tempat Wajib Pajak, maka pemeriksa pajak saat itu juga meminjam dokumen. Kemudian dibuatkan bukti peminjaman dokumen. Inilah yang diatur di Pasal 28 ayat (1) huruf a Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013.

Dalam hal (artinya kondisi tertentu saja) pemeriksa pajak ternyata tidak menemukan dokumen yang terkait kegiatan usaha di tempat Wajib Pajak tetapi pemeriksa pajak yakin bahwa dokumen tersebut ada maka pemeriksa pajak akan membuat Surat Permintaan Peminjaman Dokumen. Silakan cek ketentuan Pasal 28 ayat (1) huruf b Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 yang diawali dengan kata "dalam hal". Artinya, Surat Permintaan Peminjaman Dokumen sebenarnya tidak boleh dijadikan standar yang harus dibawa oleh pemeriksa pajak saat datang ke tempat Wajib Pajak. Kalaupun dibuat surat permintaan peminjaman tersebut maka daftar dokumen yang menjadi lampiran dari surat permintaan peminjaman tersebut harus persis sama dengan yang dimiliki oleh Wajib Pajak. Jika pemeriksa pajak membuat daftar dokumen secara umum dan tidak dimiliki oleh Wajib Pajak maka Wajib Pajak tidak wajib memenuhinya.

Peminjaman dokumen melalui surat permintaan peminjaman juga memiliki kelemahan, yaitu Wajib Pajak dapat menunda pemenuhannya sampai 1 (satu) bulan sejak sejak surat permintaan peminjaman buku, catatan, dan dokumen disampaikan. Ketentuan satu bulan diatur di Pasal 29 ayat (3a) UU KUP dan ditegaskan kembali di Pasal 28 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013. Artinya, pemeriksa pajak pasti buang-buang waktu (wasting time) selama sebulan. Ketentuan satu bulan ini berlaku untuk setiap surat permintaan peminjaman dokumen disampaikan!

Permintaan Keterangan
Pemeriksaan pajak membagi dua keterangan, yaitu:
[a.] keterangan yang berasal dari Wajib Pajak atau pegawai Wajib Pajak, wakil, kuasa, atau anggota keluarga; dan
[b.] keterangan yang berasal dari pihak ketiga.

Terhadap pihak Wajib Pajak seperti [a.] diatas maka pemeriksa pajak dapat meminta keterangan langsung. Pemeriksa Pajak dapat memanggil, dan membuat berita acara pemberian keterangan. Tetapi untuk keterangan yang berasal dari pihak ketiga hanya dapat diminta dengan surat konfirmasi yang ditandatangan oleh kepala UP2.

SPHP dan Closing Conference
Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) merupakan batas awal penghitungan jangka waktu pembahasan. Jangka waktu pengujian telah berakhir. SPHP wajib disampaikan oleh pemeriksa pajak. SPHP diberikan hanya sekali saja. Konsep pemeriksaan pajak: satu SP2 satu SPHP satu LHP.

No comments:

Post a Comment